Pages

Total Pageviews

Sunday 13 July 2014

Terima Kasih Malaysia

Tak terasa dunia perkuliahan yg saya jalani sudah mulai masuk semester akhir. Ibarat pemain bola, perkuliahan saya sudah memasuki akhir dari karir seorang pemain sepakbola di lapangan.

Semester 5, yap semester terakhir saya dalam menjalani praktek di kampus setelah semester 4 saya menjalani apa yang disebut job training yang dimana membuat saya dan teman teman lain merasakan gilanya dunia industri yang sebenarnya terutama untuk orang-orang yang bukan lulusan sekolah kejuruan (saya lulusan sekolah menengah atas jurusan IPS).

Saya ditransfer ke Negara yang betul-betul asing, Negara yang tak akan pernah terpikirkan oleh saya untuk melanjutkan hidup saat saya masih SMA. Ya, saya ditransfer ke hotel “yang katanya” bintang 5 di ibukota Negara tersebut. Di awal-awal pengumuman saat saya mendengar bahwa saya diterima di hotel tersebut, rasa senang saya meledak bukan main. Saya akan merasakan hidup mandiri di negeri orang, jauh dari orang tua, teman terdekat dan tentu saja teman wanita saya hahaha. Selalu terbayang apa yang akan saya lakukan disana, bagaimana caranya hidup di negeri seberang yang walaupun masih sangat dekat dengan Indonesia, tetap saja itu adalah tempat asing yang hanya saya tahu dari berita. Tapi tak apalah, saya mencoba untuk survive disana, melatih mental saya pikir.

Bulan-bulan pertama, berat! Dimana kita harus beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungan sekitar, makanan yang memang membuat mual di awal dan tentu saja tempat kerja yang begitu sulit untuk dijelaskan. Untung saja kami berenam (6 orang mahasiswa kami ditransfer ke hotel ini) berhasil bertahan di hotel ini sampai bulan terakhir.

Caci maki sudah jadi makanan sehari hari disana. Perilaku yang kurang mengenakan dari staff disana yang mungkin agak sedikit sensitif dengan kami yang berasal dari Indonesia (walau tak semua staff) sudah menjadi hal biasa. Pergaulan dengan orang orang lintas Negara, dari Filipina, Srilangka, Nepal, India dan Banglades membuat kami sedikit demi sedikit mengetahui mereka. Sedikit banyak saya berbincang dengan mereka yang mana membuat saya berpikir bahwa nasib saya lebih baik dari mereka. Gaji saya yg hanyalah seorang training hampir sama dengan mereka yang terbang jauh dari Negara mereka, mereka yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka di tanah mereka yang jauh disana.

Tak sedikit pula mereka yg pergi ke Malaysia dan bekerja di hotel karena tertipu oleh agen mereka yang memang hampir semua agen penyalur kerja pembual besar. Mereka diiming-imingi gaji besar dan pekerjaan yang baik, tapi sesampai di Malaysia hanyalah menjadi security. Saya mengenal salah satu staff dari Nepal, sebetulnya dia baru saja lulus sekolah, dengan umur 23 tahun dia pergi ke Malaysia dan bekerja di hotel tempat saya training. Tak punya pengalaman apa-apa, para agen tersebut menyalurkan mereka. Yang agak mengherankan adalah pihak hotel yang seperti tutup mata dengan keadaan tersebut. Apakah karena gaji mereka murah sehingga mereka tak peduli para pekerja tersebut punya pengalaman atau tidak? Saya tak tau banyak dan saya tak mau ikut campur dalam urusan mereka.

Akhir job training saya ditutup dengan keceriaan. Para manajer hotel dan staff mengadakan buka bersama sekaligus sebagai perpisahan untuk kami. Ada rasa haru disana, mungkin hanya saya saja yg merasakan. Kami, yang mereka cap “gagal” masih bisa di buatkan pesta perpisahan yang walaupun sederhana tapi bagi saya itu berharga, karena mereka ternyata masih menganggap kami dengan baik. Saya agak terharu Karena bisa saling tertawa dengan manajer hotel yang biasanya selalu memarahi kami di hotel.

Pengalaman gila di sana memang betul-betul membantu kami semua dalam membentuk mental. Di maki oleh tamu, di maki oleh manajer, halah kami semua sudah kenyang.  Disana pun kami bersahabat dengan training yang berasal dari Jakarta, mungkin di awal kami agak skeptis dengan mereka karena Universitas tempat mereka berasal adalah Universitas yang terkenal dengan kaum borjuis. Tapi setelah saling mengenal, ternyata tak ada hal-hal semacam itu di diri mereka. Bahkan saat kami berpisah di Soetta, 2 orang dari mereka menangis karena memang akhirnya kita bersepuluh (mereka ada 4 orang) berhasil lolos dari dunia gila di sana.

Bulan Agustus nanti, dengan modal pengalaman job training dan tentu saja dengan jas cokelat kebanggan kampus yang menandakan bahwa kami sudah memasuki semester senja di kampus akan menjadi manajer bohongan yang akan memimpin praktek di kampus. Memang waktu berlalu sangat sangat cepat yah, sudah hampir 2 tahun lebih saya kuliah, bersama kawan-kawan baru di kampus. Dan tahun depan adalah saat-saat terberat dimana saya akan memulai membuat TA (Tugas Akhir, semacam skripsi di S1 tapi TA untuk D3) setelah itu pun lulus dan memulai hidup sebagai pekerja, tak bisa lagi menikmati hidup sebagai mahasiswa yang “Emang Semau Gue.”

Malaysia, anda berhasil memberikan pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, berhasil mengajarkan kerasnya hidup mandiri tanpa orang tua disana, hanya berbekal kepercayaan pada diri sendiri dan teman-teman, terima kasih atas caci maki yang kami terima disana,


Terima Kasih Malaysia.