Tak terasa
dunia perkuliahan yg saya jalani sudah mulai masuk semester akhir. Ibarat
pemain bola, perkuliahan saya sudah memasuki akhir dari karir seorang pemain
sepakbola di lapangan.
Semester 5,
yap semester terakhir saya dalam menjalani praktek di kampus setelah semester 4
saya menjalani apa yang disebut job training yang dimana membuat saya dan teman
teman lain merasakan gilanya dunia industri yang sebenarnya terutama untuk
orang-orang yang bukan lulusan sekolah kejuruan (saya lulusan sekolah menengah
atas jurusan IPS).
Saya
ditransfer ke Negara yang betul-betul asing, Negara yang tak akan pernah
terpikirkan oleh saya untuk melanjutkan hidup saat saya masih SMA. Ya, saya
ditransfer ke hotel “yang katanya” bintang 5 di ibukota Negara tersebut. Di awal-awal
pengumuman saat saya mendengar bahwa saya diterima di hotel tersebut, rasa
senang saya meledak bukan main. Saya akan merasakan hidup mandiri di negeri
orang, jauh dari orang tua, teman terdekat dan tentu saja teman wanita saya
hahaha. Selalu terbayang apa yang akan saya lakukan disana, bagaimana caranya
hidup di negeri seberang yang walaupun masih sangat dekat dengan Indonesia,
tetap saja itu adalah tempat asing yang hanya saya tahu dari berita. Tapi tak
apalah, saya mencoba untuk survive disana, melatih mental saya pikir.
Bulan-bulan
pertama, berat! Dimana kita harus beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungan
sekitar, makanan yang memang membuat mual di awal dan tentu saja tempat kerja
yang begitu sulit untuk dijelaskan. Untung saja kami berenam (6 orang mahasiswa
kami ditransfer ke hotel ini) berhasil bertahan di hotel ini sampai bulan
terakhir.
Caci maki
sudah jadi makanan sehari hari disana. Perilaku yang kurang mengenakan dari
staff disana yang mungkin agak sedikit sensitif dengan kami yang berasal dari
Indonesia (walau tak semua staff) sudah menjadi hal biasa. Pergaulan dengan
orang orang lintas Negara, dari Filipina, Srilangka, Nepal, India dan Banglades
membuat kami sedikit demi sedikit mengetahui mereka. Sedikit banyak saya
berbincang dengan mereka yang mana membuat saya berpikir bahwa nasib saya lebih
baik dari mereka. Gaji saya yg hanyalah seorang training hampir sama dengan
mereka yang terbang jauh dari Negara mereka, mereka yang bekerja keras untuk
menghidupi keluarga mereka di tanah mereka yang jauh disana.
Tak sedikit
pula mereka yg pergi ke Malaysia dan bekerja di hotel karena tertipu oleh agen
mereka yang memang hampir semua agen penyalur kerja pembual besar. Mereka
diiming-imingi gaji besar dan pekerjaan yang baik, tapi sesampai di Malaysia
hanyalah menjadi security. Saya mengenal salah satu staff dari Nepal,
sebetulnya dia baru saja lulus sekolah, dengan umur 23 tahun dia pergi ke
Malaysia dan bekerja di hotel tempat saya training. Tak punya pengalaman
apa-apa, para agen tersebut menyalurkan mereka. Yang agak mengherankan adalah
pihak hotel yang seperti tutup mata dengan keadaan tersebut. Apakah karena gaji
mereka murah sehingga mereka tak peduli para pekerja tersebut punya pengalaman
atau tidak? Saya tak tau banyak dan saya tak mau ikut campur dalam urusan
mereka.
Akhir job
training saya ditutup dengan keceriaan. Para manajer hotel dan staff mengadakan
buka bersama sekaligus sebagai perpisahan untuk kami. Ada rasa haru disana,
mungkin hanya saya saja yg merasakan. Kami, yang mereka cap “gagal” masih bisa
di buatkan pesta perpisahan yang walaupun sederhana tapi bagi saya itu
berharga, karena mereka ternyata masih menganggap kami dengan baik. Saya agak
terharu Karena bisa saling tertawa dengan manajer hotel yang biasanya selalu
memarahi kami di hotel.
Pengalaman
gila di sana memang betul-betul membantu kami semua dalam membentuk mental. Di
maki oleh tamu, di maki oleh manajer, halah kami semua sudah kenyang. Disana pun kami bersahabat dengan training
yang berasal dari Jakarta, mungkin di awal kami agak skeptis dengan mereka
karena Universitas tempat mereka berasal adalah Universitas yang terkenal
dengan kaum borjuis. Tapi setelah saling mengenal, ternyata tak ada hal-hal
semacam itu di diri mereka. Bahkan saat kami berpisah di Soetta, 2 orang dari
mereka menangis karena memang akhirnya kita bersepuluh (mereka ada 4 orang)
berhasil lolos dari dunia gila di sana.
Bulan Agustus nanti,
dengan modal pengalaman job training dan tentu saja dengan jas cokelat
kebanggan kampus yang menandakan bahwa kami sudah memasuki semester senja di
kampus akan menjadi manajer bohongan yang akan memimpin praktek di kampus.
Memang waktu berlalu sangat sangat cepat yah, sudah hampir 2 tahun lebih saya
kuliah, bersama kawan-kawan baru di kampus. Dan tahun depan adalah saat-saat terberat
dimana saya akan memulai membuat TA (Tugas Akhir, semacam skripsi di S1 tapi TA
untuk D3) setelah itu pun lulus dan memulai hidup sebagai pekerja, tak bisa
lagi menikmati hidup sebagai mahasiswa yang “Emang Semau Gue.”
Malaysia,
anda berhasil memberikan pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, berhasil
mengajarkan kerasnya hidup mandiri tanpa orang tua disana, hanya berbekal
kepercayaan pada diri sendiri dan teman-teman, terima kasih atas caci maki yang
kami terima disana,
Terima Kasih
Malaysia.
Thx infonya
ReplyDelete